Mekanisasi pertanian merupakan introduksi dan penggunaan alat mekanis
untuk melaksanakan operasi pertanian. Mekanisasi pertanian disebut juga
sebagai aplikasi ilmu engenering untuk mengembangkan, mengorganisir dan
mengatur semua operasi.
Mekanisasi pertanian sangat diperlukan untuk menghantar pertanian
“subsistence” ke pertanian “transisi” menuju ke modernisasi dan
mempersiapkan para petani untuk hidup di masa akan datang.
Penerapan mekanisasi sangat berhubungan dengan kemajuan – kemajuan
bidang lain dari “Agricultural Engenering” dan berbentuk dalam satu atau
lebih kombinasi dari bidang – bidang tersebut. Agricultural Engenering
meliputi bidang – bidang Teknik Mesin Budidaya Pertanian (Farm Power and
Machinery), Teknik Tanah dan Air (Soil and Water Engenering), Teknik
Bangunan Pertanian (Farm Structures), Teknik Pengolahan Hasil Pertanian
(Agricultural Product Procesing Engenering), Teknik Pelistrikan
Pertanian (Farm Electrification), dan Teknik Pengolahan Pangan (Food
Engenering).
“IMPACT MEKANISASI PERTANIAN TERHADAP PEMBANGUNAN PEDESAAN”
Ditinjau Dari Segi Ketenaga kerja
Mempunyai cadangan tenaga kerja yang terampil serta fleksibel karena
terus menerus mau mendalami kemajuan, dan mendapatkan pelatihan dan
penyuluhan yang berkelanjutan, yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan
didalam sektor industri (industri pertanian—agro industri ataupun sector
lainnya). Transformasi struktural dalam tenaga kerja tersebut dari
sektor pertanian ke sektor yang lain itu merupakan akibat yang wajar
dari peningkatan produktifitas di dalam sektor pertanian.
Kontribusi mekanisasi pertanian untuk tanaman pangan ditandai dengan
meningkatnya kebutuhan tenaga kerja pada pengolahan lahan, karena makin
langkanya tenaga kerja manusia dan ternak pada daerah daerah beririgasi
yang mempunyai intensitas tanam tinggi. Disamping itu, faktor budidaya
tanam padi varietas unggul, memerlukan keserempakan tanam untuk dalam
satu kawasan luas, untuk menghindari serangan hama dan memutus siklus
hama. Oleh karena itu, volume pekerjaan menjadi meningkat waktu
pengolahan lahan singkat sehingga jumlah curahan tenaga kerja untuk
kegiatan tersebut meningkat.
Kasus diatas dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan 18% pada traktor, dan
terutama didominasi oleh traktor kecil. Di Jawa, meskipun penduduknya
lebih padat dari pulau pulau lain, populasi traktor pada tahun 2000
mencapai 50% dari total populasi di Indonesia atau sekitar 49,000 unit
dari 101,000 unit. Dari 50% tersebut, propinsi Jawa Barat dengan luas
areal sawah 1.2 juta hektar memiliki populasi traktor terbanyak, diikuti
oleh propinsi Jawa Tengah, kemudian propinsi Jawa Timur .
Didaerah lain, traktor makin tahun juga meningkat jumlahnya, terutama
pada daerah daerah yang mempunyai irigasi lebih baik seperti Sulawesi
Selatan, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Lampung. Namun
demikian belum dapat diduga parameter statistiknya antara perkembangan
traktor dan intensitas tanam disuatu wilayah, namun dapat diduga bahwa
mekanisasi pengolahan lahan akan sangat berkorelasi dengan jumlah lahan
sawah irigasi dan intensitas tanamnya.
Pada kasus perluasan areal tanaman pangan, dapat disebutkan peranan
pompa air irigasi, terutama untuk wilayah wilayah yang mempunyai air
tanah dangkal didaerah Sragen (Jawa Tengah), Ngawi, Kediri, dan Madiun
di Jawa Timur. Pompa air memungkinkan perubahan pola tanam 1 kali
menjadi 2 atau lebih dalam setahun. Peningkatan intensitas tanam
tersebut dimungkinkan karena faktor air sebagai kendala utama dapat
dipecahkan, dan sekaligus meningkatkan kesempatan kerja, karena
bertambahnya jumlah tanaman per tahun. Namun demikian, meskipun input
teknologi pompa air-nya sendiri hanya memberikan margin keuntungan yang
sedikit, karena biaya air tidak sesuai dengan biaya pokok yang harus
ditanggung oleh pompa air (Ditjentan, 1979; Balai Besar, 2000, Ditjen
Tananam Pangan 2000).
Akan tetapi walaupun melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di perdesaan
kondusif bagi pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan
beban bagi sektor pertanian karena pendapatan buruh tani dan
produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin sulit ditingkatkan.
Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian justru
menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan dan
menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan
lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang.
Sebagai akibatnya, penduduk miskin di sektor pertanian akan melimpah
pula.
Ditinjau Dari Segi Sosial Budaya Dan Agama
Dengan mekanisasi pertanian yang modern dan berwawasan agribisnis
dikembangkan dan dibangun dari pertanian tradisionil melalui proses
modernisasi. Pada prinsipnya, modernisasi menuntut terjadinya perubahan
dan pembaharuan sistim nilai dan budaya. Modernisasi berarti melakukan
reformasi terhadap norma dan budaya yang tidak sesuai lagi dengan
perubahan zaman, kurang produktif, kurang efisien dan tidak memiliki
daya saing. Perubahan tersebut perlu waktu, harus terjadi dalam lingkup
integral dan tidak hanya mencakup aspek-aspek teknis, ekonomis, politis
melainkan juga aspek penghidupan sosio-kulturil.
Pengembangan mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen yang mampu
memberikan kontribusi optimal kepada pembangunan sistem dan usaha
agribisnis. Dimana pengembangan tersebut bertujuan untuk memberikan
landasan yang kuat bagi berlangsungnya pengembangan mekanisasi pertanian
, sebagai wahana perubahan budaya pertanian tradisional ke budaya
pertanian industrial atau modern.
Adanya modernisasi mekanisasi/ tekhnologi pertanian di satu sisi
mengakibatkan naiknya tingkat rasionalitas (nilai tiori), orientasi
ekonomi dan nilai kuasa,sementara pada sisi lain modernisasi
mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan (nilai agama), nilai
gotong royong (solidaritas) dan nilai seni mengalami komersialisasi.
Modernisasi dapat juga menaikan semua nilai budaya yang di uraikan di
atas. Kenyataan memperlihatkan bahwa nilai yang sangat dominant
mengalami pergeseran adalah naiknya tingkat rasinolitas (nilai tiori),
orientasi financial (nilai ekonomi) sebagai dampat kebijaksanaan
pembangunan yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang diikuti
oleh pesatnya penerapan ilmu dan technologi. Sehinga pergeseran nilai
dan peransosial budaya terjadi, karena modernisasi menururt Schoorl
(1991) tidak sama persis dengan pembangunan. Modernisasi lebih banyak
diwarnai oleh gejala perubahan tekhnologi dan berkembangnya ekonomi
pasar. Sedangkan pembangunan lebih menitik beratkan pada adanya
perubahan struktur masyarakat.
Dahulu, sebelum ada dan diterapkanya teknologi biologis dan teknologi
biokimia, mulai dari pembukaan dan pengolahan lahan, menggarap
sawah/ladang sampai pada menjelang dan pasca panen, nilai agama
(kepercayaan) selalu mendominasi setiap langkah para petani. Kenyataan
ini dapat dibuktikan dengan adanya kebiasan para petani yang mencari dan
menentukan hari dan bulan baik untuk bercacok tanam dan memanen hasil
pertaniannya. Sebelum pelaksanaan panen padi misalnya, di sekeliling
sawah/ladang selalu didahului dengan acara do’a dan selamatan bersama
agar hasil panenya meningkat dan mendapatkan perlindungan dan berkah
dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Eksistensi nilai agama (kepercayaan) tersebut, setelah hadir dan
diterapkanya teknologi biologis dan biokimia, telah bergeser dan bahkan
ada yang telah hilang sama sekali diganti oleh nilai-nilai yang bersifat
rasional. Wawasan dan cara berfikir mereka menjadi lebih terbuka bahwa
meningkatnya hasil panen tidak semata-mata ditentukan oleh
dilaksanakanya do’a selamatan disekeliling sawah/ladang,tetapi
ditentukan oleh penanaman bibit unggul, cara pengolahan, penggunaan
pupuk, pemberantasan hama sampai kepada penanganan pasca panen. Hal ini
menunjukan bahwa cara dan tingkat rasionalitas berfikir mereka semakin
meningkat dan bertambah maju, sementara nilai-nilai agama (kepercayaan)
makin luntur dan memudar.
Majunya cara berfikir diatas didukung oleh adanya pelaksanaan program
pemerataan pendidikan melalui kejar paket , wajib belajar dan media masa
secara pasti mampu mengajak masyarakat untuk berfikir dan bertindak
berdasar logika (nilai teori). Artinya baik buruknya sesuatu tidak lagi
berdasarkan pada nilai-nilai kepercayaan. Fenomena ini tanpak jelas pada
pola tingkah laku mereka sebagai refleksi dari cara berfikirnya yang
telah mengalami pergeseran.
Sebelum adanya program mekanisasi, para petani menggarap sawahnya dengan
menggunakan tenaga kerbau atau sapi. Sekarang ;lahan pertanian sudah
digarap dengan bantuan mesin (menyewa traktor milik pemodal). Demikian
juga dalam pelaksanaan panen yang dulunya banyak melibatkan para
tetangga memangterlihat tidak efesien-dengan adanya tresser (mesin
perontok padi) penggunaan tenaga manusia menjadi berkurang. Penggunaan
alat ini disatu sisi memang menguntungkan, tapi disisi lain pola
hubungan antar masyarakat petani, jelas merenggankan kohesi social, dan
secara ekologis karena gabahnya tidak ada yang tercecer menyebabkan
populasi burung menurun atau bermigrasi ketempat lain. Padahal keberadan
burung merupakan salah satu mata rantai makanan dalam suatu ekosistem
masyarakat petani.
Dahulu, nilai gotong royong sangat terasa sekali, jika ada tetangga yang
melaksanakan hajatan. Ketika petani mau menanam padi atau kedelai di
ladang atau panenan, pasti tidak bayar, upahnya hanya makan pagi dan
siang atau makan kecil. Jadi, kalau ada diantara mereka menanam atau
memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu
sebaliknya, terjadi semacam barter tenaga. Sekarang keadaanya telah
bergeser, kalau mau bercocok tanam atau panenan sudah harus
memperhitungkan upah. Bahkan sekarang jika ada gentong dipukul untuk
menggotong rumah tetangga, banyak orang yang berfikir praktis, cukup
memberi uang dan tidak udah ikut gotong royong. Persoalanya mengapa hal
ini terjadi ?
Adanya desakan ekonomi pasar yang kuat, memang terlalu sulit dan berat
untuk mempertahankan model gotong royong seperti diatas, dan memang
tidak harus dipertahankan benar-asal proporsional. Pola pikir praktis
dengan hanya memberi uang tanpa mau terlibat gotong royong jelas
merupakan pertanda erosi nilai dan munculnya nilai baru yakni
indivualisme pada masyarakat perdesaan, Munculnya nilai individualisme
ini terjadi karena semakin terbatasnya kepemilikan tanah yang banyak
dikuasai oleh tuan tanah lokal atau masuknya petani berdasi dari kota.
Jika dahulu yang namanya pekulen itu sampai dilempar orang kampung
karena tidak membayar pajak pada pemerintah. Banyak pekulen Yang
memiliki sawah 1 Ha – 2 Ha malas menggarapnya, karena kebanyakan tanah,
tapi sekarang semua pada lapar tanah, bahkan banyak juga orang kota
datang untuk menggusur orang desa untuk memperluas daerah bisnisnya.
Dari sini lalu tumbuh benih – benih individualisme di kampung – kampung
yang dulu damai dan penuh kekerabatan.
Benih-benih individualisme di atas banyak dicontohkan oleh orang – orang
kampung yang relatif terpelajar. Diantara mereka sekarang banyak
membuat pagar tembok sekeliling rumahnya dan ada juga yang membuat dasar
lantai rumah yang tinggi, padahal dulu perbuatan ini dianggap angkuh
dan dinilai tidak memiliki rasa kebersamaan. Jadi rasa kebersmaan yang
dulu ada di kampung, sekarang tidak terlihat lagi, kalau di kota
barangkali hal ini dapat dimengerti.
Dahulu jika ada orang yang hendak bertransmigrasi atau pindah tempat
tinggal, itu pasti ditangisi oleh warga kampungnya. Keadaan sekarang
sudah berubah, hendak pergi jauh atau mau pindah ke mana, mereka sudah
tidak perduli, bahkan merasa bersyukur supaya kampung lebih sepi dan
luas. Jadi rasa kegotong – royongan itu bukan saja sudah tererosi, tapi
malah lebih sedikit dari sisa yang tererosi itu.
Fenomena di atas menjadi indikasi bahwa nilai gotong – royong,nilai
solidaritas sosial di perdesaan telah menurun tajam, sedangkan nilai
kuasa semakin meningkat dan menguat. Penguatan nilai kuasa ini dapat
dilihat dari kondisi riil bahwa para petani dipedesaan telah menggunakan
kuasanya dalam menggarap sawahnya, memanen padi, menyewa traktor dan
dalam berbagai kegiatan lainnya, yang sebelumnya mungkin karena
ikatan-ikatan tradisional harus mereka kerjakan dengan mengikutsertakan
petani tetangga atau petani sedesanya. Keadaan ini menjadi pertanda yang
jelas bahwa masuknya teknologi mekanisasi pertanian memang
menguntungkan sekaligus juga menumbuhkan benih – benih individualisme
masyarakat petani yang sebelumnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak
ada sama sekali.
Nilai seni di masyarakat-pun mengalami pergeseran ke arah
komersialisasi, padahal dulu seni lebih didominasi oleh rasa seni dan
keindahan, terlepas dari pertimbangan material. Wayang kulit, wayang
golek atau bentuk kesenian rakyat lainnya, kini sudah banyak diberi
pesan sponsor, sehingga tidak lagi menghasilkan kesenian yang bermakna
dalam memberi kontribusi nilai kepada kehidupan, bahkan dengan adanya
pesan – pesan sponsor, nilai kesenian menjadi jelek dan tidak mandiri
lagi.
Dahulu , kesenian ronggeng tidak bayar, habis penen langsung mengadakan
pentas ronggeng dan penonton secara sukarela menyumbang langsung. Tapi
ronggeng sekarang sudah pasang tarif, demikian juga dalang. Jadi seni
sudah mengalami komersialisasi yang sangat parah, kesenian kampung
menjadi tidak asli lagi, karena pola konsumerisme sudah besar dan
merambah kemana mana.
Ditinjau Dari Segi Peningkatan Produktivitas
Mekanisasi pertanian dan Teknologi Pasca Panen merupakan wahana untuk
transformasi dari pertanian tradisional ke arah pertanian dengan budaya
industri. Dan juga mekanisasi merupakan sebagai suatu sub sistem IPTEK
memiliki arti yang sangat strategis, karena dengan (mekanisasi pertanian
) termasuk teknologi pasca panen), akan didorong pergeseran kearah
produktivtas dan efisiensi usaha tani tradisional ke usaha tani
komersial atau modern.Adanya pengembangan kelembagaan mekanisasi
pertanian dipedesaan. Dimana kelembagaan bukan terbatas hanya pada
institusi fisik seperti organisasi pemerintah, namun juga berkaitan
dengan supporting system yang dibutuhkan untuk melayani pengembangan
mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen. Antara lain adalah
keberadaan kelompok tani desa, asosiasi pengusaha, dealership, UPJA,
lembaga kredit atau keuangan desa, lembaga penjamin kredit desa,
asuransi ( jika appropriate pada saatnya), bengkel dan industri
perawatan dan pemeliharaan yang perlu dihidupkan. Sehingga dengan adanya
lembaga lembaga tersebut, keberlanjutan operasi mekanisasi pertanian
dipedesaan dapat dijamin berlangsung terus. Juga pengentasan kemiskinan
dan penghapusan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan dan
pengembangan mekanisasi pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang
dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya
beli masyarakat.
Bersamaan dengan penerapan berbagai macam teknologi pertanian di
perdesaan, pemerintah juga memperkenalkan program pembangunan desa
melalui bantuan desa. Pada program ini, pemerintah tidak membenarkan
lagi proyek-proyek desa dilaksanakan secara gotong royong tanpa disertai
dengan imbalan gaji/upah. Akibatnya, dalam mengerjakan sawah, nilai
tolong menolong (gotong royong) pun juga sudah lebih sedikit jika
dibandingkan dengan dua atau tiga puluh tahun yang lalu.
Pembangunan sekarang ini semakin menjauhkan jarak antara yang kaya dan
yang miskin. Petani kaya dengan modal 2 Ha tanah semakin enak dan kaya ,
karena tanahnya disewakan jutaan rupiah pertahun dengan tanpa resiko
rugi. Sebaliknya petani miskin bertambah miskin dan susah. Hendak naik
gunung saja, sekarang jangankan kayu, daun jati saja sudah tidak boleh
diambil, karena sudah dikuasai oleh pemegang HPH dari kota. Akibatnya,
petani miskin mati kelaparan di Negaranya yang subur.
Pembangunan sektor pertanian telah membawa pergeseran nilai dan perilaku
keagamaan dan sosial budaya masysarakat petani. Hal ini tampak pada
semakin meningkatnya orientasi ekonomi dan rasionalitas berpikir
masyarakat petani, sementara nilai kepercayaan dan rasa solidaritas,
kegotongroyongan terlihat sermakin luntur, bahkan sangat mungkin akan
hilang sama sekali.
Sekalipun demikian, pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial
budaya tidak semuanya buruk (negatif). Kecuali sebagai intensitas
pelaksanaan pembangunan di satu sisi, pergeseran nilai sosial budaya
bahkan- mungkin- menjadi kekuatan pendorong bagi keberhasilan
pembangunan sektor pertanian.
Pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya juga dapat
menjelaskan seperti mengapa partisipasi masyarakat perdesaan dalam
kegiatan pembangunan rendah. Partisispasi ini mungkin dapat di
tingkatkan dengan menyesuaikan nilai dan perilaku keagamaan dan sosial
budaya yang berlaku di masyarakat tersebut.
Adanya pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya ini
juga mengisaratkan kuatnya harapan masyarakat perdesaan untuk menuju
perbaikan taraf kehidupan mereka. Oleh karena itu, dalam melakukan
program pemberdayaan masyarakat pedesaan, kecuali perlunya perhatian
terhadap aspirasi masyarakat yang tercermin dalam nilai dan perilaku
keagamaan dan sosial budaya mereka pada saat ini, juga perlu dan harus
melakukan transformasi nilai dan ilmu pengetahuan terlebih dahulu yang
sesuai dengan modernisasi, sehingga pelaksanaan program pembangunan
(pemberdayaan masyarakat pedesaan) dapat mengena pada sasaran yang
diinginkan.
Ditinjau Dari Segi Sosial Ekonomi
Berbagai studi menyebutkan, bahwa alat dan mesin pertanian memiliki
kaitan sangat erat dengan dinamika sosial ekonomi dari sistem budidaya
pertaniannya. Sumbangan alat dan mesin pertanian dalam pembangunan
pertanian dapat diukur pada berbagai kasus, misalnya penggunaan pompa ai
tanah di Jawa Imur yang mampu merubah pola tanam dari padi-bero menjadi
padi - padi atau padi – palawija palawija. Demikian pula penggunaan
mesin perontok padi yang menurunkan susut panen dari > 5% menjadi
kurang dari 2%. Penelitian terhadap perbaikan dan penyempurnaan mesin
penggilingan padi mampu menaikkan rendemen giling cukup. Dan juga
beberapa kasus pada pengolahan kakao dan kopi, juga memberikan indikasi,
bahwa penggunaan alat dan mesin untuk sortasi, pengeringan, dan
penanganan primer hasil kakao dan kopi mampu meningkatkan kualitas hasil
dan pada akhirnya mengangkat nilai tambah hasil pertanian Dalam sistem
agribisnis yang terbagi dalam empat sub sistem yaitu sub sistem
agribisnis hulu sampai pada sub sistem agribisnis hilir (pengolahan dan
pemasaran), peran alsintan diperlukan.
Ditinjau Dari Segi Perluasan Areal Baru
Peran mekanisasi pertanian pada perluasan areal baru, terutama pada
lahan pasang surut, sulfat masam, lahan bergambut, memberikan prospek
yang cukup baik dalam kaitannya dengan usaha pelestarian swa sembada
beras. Hasil penelitian, studi dan pengamatan di berbagai ekosistem
tersebut memberikan indikasi bahwa marginalitas lahan tersebut bersifat
dinamis, dimana unsur waktu, perkembangan teknologi budidaya padi,
kelembagaan alih teknologi memegang peranan penting dalam mematangkan
tanah (Puslitbangtan, 1996). Unsur kepekaan (sensitivity) mekanisasi
pada lahan tersebut ditunjukkan oleh keberadaan gambut, pirit,
kematangan lahan (n-faktor) dan indeks konis (cone indeks) dan tinggi
genangan air. Dengan determinan tersebut, mekanisasi pertanian pada
ekosistem rawa, pasang surut dan lahan bergambut harus selektif dan
memandu dilakukannya suatu pemilihan alsintan yang spesifik, manajemen
operasi dan kelembagaan pengaturannya (Tim Studi Mekanisasi Lahan Rawa/
Gambut, 1997).
Ditinjau Dari Segi Sumber Daya Manusia
Dengan adanya pengembangan mekanisasi pertanian maka akan meningkatkan
sumber daya manusia atau juga meningkatkan keberdayaan masyarakat desa.
Karena kemampuan Sumber Daya Manusia dibutuhkan tidak hanya untuk
mengoperasikan mekanisasi pertanian secara fisik sebagai operator
teknologi, namun juga diperlukan dalam manajemen sistem teknologi.
Manajemen Sistem Teknologi tersebut dimulai dari pemilihan ( seleksi),
pengujian dan evaluasi, serta penciptaan teknologi baru yang sepadan
dengan perkembangan zaman. Pergeseran sistem pertanian dari padat tenaga
kerja ke padat modal dengan menggunakan mekanisasi pertanian memerlukan
keahlian dalam merencanakan, menganalisa, dan memberikan keputusan
keputusan yang tepat.
Masyarakat perdesaan-orang kampung- sebetulnya banyak yang tidak
mengerti bahwa pembangunan itu untuk siapa, karena terlampau sedikit
hasil pembangunan dirasakan oleh orang desa. Modernisasi pertanian,
misalnya hasilnya memang dirasakan, tetapi oleh mereka yang awalnya
sudah kenyang (kaya), karena mereka punya tanah. Petani yang tanahnya
sedikit, apalagi yang tidak punya, kehadiran traktor dan instrumen
pertanian modern lainya sama sekali tidak ada artinya.
Pembangunan yang menyangkut bibit-bibit unggul memang mereka rasakan,
tetapi untuk menaikan derajat kehidupan, sama sekali tidak ada perubahan
yang mendasar. Petani yang pada tahun 1970-an sebagai derap- buruh upah
panenan- sampai sekarang masih sebagai buruh derap. Berbeda dengan para
petani yang sejak awal memiliki tanah 1-2 Ha, sekarang relatif
bertambah kaya dan makmur, jadi yang teranggkat bukan lapisan bawahnya.
Hal tersebut terjadi karena modernisasi yang dibawa kedesa tanpa adanya
pertimbangan dan analisa yang matang. Mestinya, modernisasi harus
melalui tahapan persiapan sarana pengetahuan lebih dahulu yang sesuai
dengan rencana modernisasi. Karena itu perlu disiapkan agar masyarakat
di perdesaan memiliki rasa kemandirian- transformasi semangat dan rasa
optimis.
Demikian juga dengan kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern
lainya. Karena tidak diberi wawasan terlebih dahulu tentang traktor dan
instrumen pertanian lainya, untuk 1-2 hari mungkin tidak ada masalah,
tetapi untuk sekian bulan berikutnya, bila ada metalnya klok, murnya
copot, spuyernya lepas, terpaksa menyerah bulat- bulat kebengkel Cina.
Tukang bengkel bilang bayarnya Rp. 100.000,- terpaksa harus membayar Rp.
100.000.-. Jika hal ini terjadi, berarti nilai produktifitas mesin
menjadi hilang bahkan bisa menjadi minus. Hal ini bisa saja terjadi,
jika sebelumnya tidak ada transformasi nilai atau ilmu penetahuan
mengenai hal tersebut.
Ditinjau Dari Segi Pangan
Dengan adanya mekanisasi pertanian maka akan ada pemenuhan kebutuhan
pangan. Hal ini dikarenakan pada umumnya penghidupan masyarakat pedesaan
dari sektor pertanian.
Ditinjau Dari Pengaruh Globalisasi
Globalisasi perdagangan merupakan masalah sekaligus peluang dalam
pembangunan/ pengembangan mekanisasi pertanian. Beberapa implikasi dari
dinamika lingkungan internasional tersebut, adalah: (1) setiap negara
harus meningkatkan dayasaing produknya agar tidak tersisih oleh
produk-produk impor, di sisi lain kita dapat memanfaatkan pasar global
yang semakin terbuta; dan (2) globalisasi disatu sisi akan mempengaruhi
pola konsumsi masyarakat dalam negeri dalam hal keragaman, mutu dan
keamanan produk pangan
sumber: saipol-book
Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
ReplyDeleteTerima kasih, Busarakham.